RUANGAN yang redup, walaupun diterangi oleh lampu neon sepanjang hari. Inilah kesan pertama yang akan kita lihat saat masuk ke ruangan pencucian (Laundry) di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Curup. Ditambah sejuknya suhu, karena terus dialiri air yang terpercik sesekali membasahi lantai. Ada juga rembesan air yang menembus lantai yang entah dari mana asalnya, bahkan rembesan tersebut bisa menggenangi ruangan jika tidak segera dibersihkan setiap jamnya, tambahan pekerjaan yang harus para pekerja di bagian laundry mau tak mau harus dilaksanakan. Belum lagi dengan plafon ruangan yang terkesan sangat 'horror', seperti 'sundel bolong', badan plafon ruangan laundry ini bolong disitu sini, mengangga dan menghitam seperti rumah hantu namun dijadikan 'kantor' pekerja laundry. Lagi, entah dari mana asalnya air yang jatuh membolongi plafon ruangan, padahal ruangan laundry terletak di lantai terbawah, yakni Basement. Masih ada 3 lantai beton yang menaungi ruangan tersebut. Tidak mungkin air hujan yang menetesi air, mungkin saja rembesan pipa saluran air, atau lebih parahnya malah berasal dari bocoran pipa air pembuangan dari lantai diatasnya.
Salah seorang petugas laundry RSUD Curup, Susilawati (34), warga Desa Pulogeto Baru Kecamatan Merigi Kabupaten Kepahiang mengaku senang bisa bekerja di RSUD Curup, walau jadi 'tukang' cuci, katanya. Sebelum bertugas di bagian laundry, Susilawati adalah petugas kebersihan RSUD Curup atau istilah kerennya 'Cleaning Service'. Awal 2010 mulai bekerja di RSUD Curup, dengan status pekerja Tenaga Kerja Sukarela (TKS) dan ditugaskan sebagai petugas kebersihan RSUD Curup yang tidak menentu upahnya, artinya jika ada upah disyukuri, jika belum ada dinanti. Bagaimana tidak, namanya saja tenaga sukarela, yang bekerja tanpa menuntut berapa besaran upahnya.
Saat ditemui di tempat kerjanya, Susilawati tampak mengenakan baju dinas batik coklat dengan jilbab panjang setengah badan. Duduk di sofa berwarna coklat kehitam-hitaman yang tercabik-cabik, hampir mirip dicakar kucing, ia terkadang agak bingung menjawab pertanyaan Jurnalis terkait pekerjaannya sebagai petugas Laundry. Jika diwawancarai soal upah yang ia terima, Susilawati sedikit agak malu mengungkapkannya. Ia berprinsip, selagi masih ada yang bisa ia kerjakan dan menghasilkan, berapapun hasilnya, besar kecil tak jadi soal, yang penting bisa membantu suami untuk keperluan dapur, walau tak seberapa.
"Ya.... bisa bantu sedikit, alhamdulillah. Yang penting halal," singkatnya.
Terus diwawancarai terkait besaran upah yang ia terima, di ruangan laundry tersebut, bersama beberapa teman-teman satu profesinya, Susilawati mengakui bahwa upah per bulan yang ia terima hanya Rp. 175 ribu. Itu pun tidak dibayarkan per bulan, per 3 bulan sekali baru pihak manajemen kepegawaian dan anggaran RSUD Curup menyalurkan upahnya.
"Maklum, kan saya ini masih TKS, jadi soal upah yang kami terima, saya dan teman-teman TKS lainnya tidak bisa menuntut," jelasnya.
Ternyata upah pun bervariasi, ada yang mendapatkan upah sebesar Rp. 500 ribu per bulan karena telah berstatus honorer dengan mengandalkan Surat Keputusan (SK) Bupati Kabupaten Rejang Lebong (RL), upah ini merupakan upah terbesar yang petugas laundry terima dan hanya 2 orang saja dari 8 orangh petugas laundry RSUD Curup yang berstatus honorer ber-SK bupati tersebut, sisanya ada yang THL dan TKS dengan upah yang bervariasi pula, yakni kisaran Rp. 175 ribu, Rp. 215 ribu, dan Rp. 315 ribu.
Dengan upah tersebut, tidaklah cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup pastinya, apalagi untuk satu bulan. Jumadi (38), Suami Susilawati, adalah pekerja serabutan di salah satu gudang jahe dekat tempat tinggalnya. Upahnya pun tidak bisa dipastikan berapa per hari atau per bulannya. Lantaran, upah yang Suaminya terima tergantung dengan sedikit banyaknya barang yang masuk dan dikerjakan oleh Jumadi. Sehingga tidak ada patokan berapa upah yang bisa ia dapatkan.
Susilawati sampai mengaku, setiap bulannya ia juga terpaksa berhutang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Setiap upah yang suaminya dan ia terima, pasti sudah ada alokasi hutang yang harus dibayar. Belum lagi 4 orang anaknya yang semuanya masih sekolah di jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang hanya tinggal menunggu Ujian Nasional (UN) dan melanjutkan ke jenjang SMA, dan ada pula kelas 6 Sekolah Dasar (SD) yang juga akan melanjutkan ke tingkat SMP. Dan masih ada 2 orang anak lagi yang harus dipikirkan biaya untuk melanjutkan pendidikannya.
Susilawati tampaknya sudah biasa dengan kehidupannya sekarang ini, terbukti saat diwawancarai, ia tampak santai dan sesekali hanya tersenyum kecil menanggapi pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan kepadanya soal kehidupan yang ia jalani.
Kesehariannya, Susilawati biasanya bertugas pada pagi hari. Ada 3 kali shift yang diberlakukan di tempat kerjanya, diantaranya shift pagi dimulai pukul 07.30 WIB - 13.30 WIB, kemudian dilanjutkan oleh temannya pada shift sore yang dimulai pukul 14.00 WIB - 19.30 WIB, dan bagi Shift malam dimulai pukul 20.00 WIB - 07.00 WIB.
"Kita kerjanya disini 24 jam dan bekerja setiap hari, hari minggu dan tanggal merah pun tetap ada yang bertugas. Tapi kami juga ada liburnya, yakni 1 kali dalam 1 minggu, tapi dijadwalkan bergantian. Itupun tergantung sedikit banyaknya cucian, kalau lagi banyak, ya tidak ada yang libur," jelas Susilawati sembari menyungingkan pipinya.
Setiap pagi Susilawati datang ke tempat kerjanya menggunakan motor pribadinya, ia mengendarai sendiri motor tersebut. Setiap hari datang ke tempat kerja, biasanya ia langsung menjemput cucian per ruangan untuk dibawa ke bawah dan langsung dikerjakan proses laundrynya, biasanya per shift terdiri dari 2 hingga 3 orang petugas laundry. Semua petugas telah memiliki tugas masing-masing dalam proses laundry, ada yang bertugas sebagai penjemput dan pengantar cucian yang kotor dan telah bersih, dan ada juga yang bertugas untuk mencuci dan mengeringkan.
Susilawati dan teman se profesinya menceritakan juga sedikit pengalaman mereka sering mencuci kain bekas bedah dan operasi dengan penyakit yang berbahaya, seperti darah pengidap HIV/Aids misalnya. Disinggung soal keamanannya dalam bekerja, mereka menjelaskan bahwa cucian yang berbahaya biasanya diberikan merk khusus. Mencucinya juga tidak sembarangan, minimal memakai sarung tangan karet (handspone) dan sepatu boot. Banyaknya cucian pun kadang tak terhingga. Pasalnya, setiap harinya pasti ada paling sedikit 5 pasien yang operasi, jika disaat bertugas banyak pasien yang operasi, maka pekerjaan cuciannya akan sangat banyak, ditambah lagi mesin cuci yang kinerjanya sudah tidak normal lagi. Hanya ada 3 mesin cuci di ruang laundry tersebut, 2 mesin cuci terlihat sudah sangat tua dan sering macet, dan 1 mesin cuci yang baru dengan teknologi mesin yang cukup baik, namun kemampuan cucinya sangat lama, terkadang hingga setengah hari baru selesai mencuci satu kali cuci saja dengan mesin tersebut.
"Kalau mesin yang besar dan terbaru itu jarang dipakai, karena nyuci nya sangat lama. Memang, jika pakai mesin baru itu tinggal tarok saja cuciannya, dan bisa tinggal angkat, karena sudah serba otomatis, tapi sangat lama, makanya jarang kami gunakan," kata Susilawati.
Mendengar cerita singkat dari pekerjaan yang mereka lakukan itu saja, apakah layak pihak RSUD Curup bahkan Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Rejang Lebong mengabaikan upah yang begitu kecil dan bisa dinilai tidak layak untuk apa yang telah mereka lakukan?
Belum lagi tenaga Honorer, TKS, dan THL lainnya, masih banyak yang berprofesi hampir sama dan sama beban kerjanya dengan cerita Susilawati dan teman-temannya ini. Hal ini harus dipikirkan oleh pihak terkait, jangan bisanya hanya merekrut pekerja banyak, namun kelayakan upah minimum tidak dipikirkan sama sekali. Walaupun mereka ikhlas menjalankan pekerjaan tersebut, setidaknya mereka juga bisa memiliki penghasilan yang cukup layak untuk mereka bawa pulang hasilnya ke rumah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, biaya kesehatan, dan pendidikan anak-anak yang masih bersekolah.[**]